Selasa, 08 April 2008

Otonomi Daerah dan Anggaran Berbasis Publik

Oleh: Yana Syafrie YH.

(Dosen Ilmu Pemerintahan UMM)

Implementasi otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah merupakan strategi dalam merespons tuntutan masyarakat di daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of powers, distribution of incomes, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam memperkokoh perekonomian nasional menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Demikian pula dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen pemerintahan lainnya, seperti bergesernya orientasi pemerintah dari command and control menjadi berorientasi pada demand (tuntutan) and public needs (kebutuhan public). Orientasi inilah kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagi stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembagunan.

Oleh karenanya, otonomi daerah akan menjadi formulasi yang tepat apabila diikuti dengan serangkaian perubahan di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tidak saja sekedar perubahan format institusi, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga cita-cita mewujudkan good governance benar-benar akan tercapai.

Untuk menciptakan good governance, maka diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik suprastuktur maupun infrastrukturnya, yang intinya adalah adanya pemberdayaan masing-masing elemen yang ada di daerah, yaitu masyarakat (stakeholder), pemerintah daerah (executive), dan DPRD (shareholder). Disamping itu, pentinya reformasi manajemen sektor publik (public management reform) terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru dan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.
Manajemen publik baru berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja bukan pada kebijakan. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintahan di daerah, diantaranya adalah perubahan pendekatan dalam pengaggaran (budgeting reform), dimana pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan, efesien, rasional dan berkeadilan—termasuk dalam pengertian ini adalah adil secara gender—sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability). Sedangkan reformasi anggaran (budgeting reform) itu sendiri meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran.

Dalam kaitannya dengan formasi diatas, perlunya perubahan secara institusional dan manajemen di sektor publik dalam kerangka good governance pada dasarnya untuk mendukung terciptanya optimalisasi pelayanan public (public servant) sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, lebih jauh lagi untuk menyelenggarakan kebijakan pembangunan yang komprehensif, partisipatif, dan berkeadilan.
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur dengan baik dan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang, umumnya disusun untuk satu tahun. Di samping itu anggaran merupakan alat kontrol atau pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan di masa yang akan datang. Sebagai instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menduduki posisi sentral (central position) dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.

Pada hakekatnya, anggaran daerah merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi daerah.
Untuk mewujudkan anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan publik, maka APBD harus disusun dengan pendekatan kinerja (base performance budget), dimana ada keterkaitan yang erat antara pengambil kebijakan di DPRD dengan perencanaan operasional oleh Pemerintah Daerah dan penganggaran oleh Unit Kerja, serta adanya upaya mensinergikan hubungan antara APBD, sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, Lembaga Pengelola Keuangan Daerah dan Unit-unit Pengelola Layanan Publik dalam pengambilan Kebijakan.

Disamping itu, sebagai sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, APBD disusun dengan mengacu pada norma dan prinsip anggaran (World Bank:1998). Norma dan prinsip anggaran tersebut adalah pertama, transparan dan akuntabel. Hal ini sesuai dengan kerangka otonomi daerah dengan mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan bertanggung jawab, dimana diperlukan syarat transparansi dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah. Mengingat anggaran merupakan sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat. Semua alokasi dana yang diperoleh dan penggunannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua
, tentang disiplin anggaran. Anggaran yang disusun harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan tidak boleh mengesampingkan keseimbangan antara pembiayaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Ketiga, efisiensi, dan efektifitas anggaran, artinya alokasi dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, disusun berlandaskan asas efesiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang berkualitas bagi masyarakat. Keempat, keadilan anggaran, yaitu penggunaan anggaran secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah adil secara gender.
Sebagai sebuah catatan dari hasil penelitian penulis tahun 2003 – 2006 APBD di beberapa kota/ kabupaten di Jawa Timur masih terkonsentrasi dan digunakan untuk belanja aparatur dibanding digunakan untuk belanja pelayanan publik, prinsip disiplin anggaran masih belum dilakukan terbukti dengan masih adanya duplikasi dalam anggaran pada pos-pos tertentu (misal belanja pegawai, administrasi (perlatan dan barang), dan pemiliharaan), demikian pula anggaran daerah belum berpihak pada rakyat—pada dinas-dinas yang langsung berhubungan dengan kebutuhan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, transportasi publik (infrastruktur jalan)—alokasi dananya masih terbatas bahkan bukan prioritas (Jainuri dan Hijri:2006).
Sudah saatnya masyarakat—baik organisasi masyarakat (ormas), mahasiswa, akademisi, LSM, dll—sebagai pemegang kedaulatan tertinggi juga memegang peranannya, paling tidak ikut berpartisipasi aktif—bersama DPRD dan pemerintah—dalam menyusun distribusi dan alokasi APBD (baca:partisipatory budget) agar tidak terjadi praktek kolusi, korupsi atau pun nepotisme yang selama ini hadir di tengah-tengah kita, adapun dalam implementasinya masyarakat harus tetap menggunakan fungsi pengawasannya, bahkan terbuka lebar untuk mengkritisi sekaligus mengkoreksinya untuk menimalisir terjadinya penyelewengan oleh aparatur pemerintahan.

Daftar Bacaan
Esden, Bootes, 2002, Indonesia Rising Above Challenges, Sourcebook on Decentralization Indonesia Asia, Asia Foundation, IRDA.

Karim, Abdul Gaffar (Ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM, Yogyakarta.

Liang Gie, The, 1968, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta.

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

The Building Institution for Good Governance, 2001, Edisi 3.

______________, ICMA dan USAID, 2004, Pelatihan Pelatih Penyusunan Anggaran Kinerja Daerah Propinsi Jawa Timur.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2004, Citra Umbara, Bandung.

World Bank, 1998, World Development Report 1998-The State Indonesia a Changing World, Washington DC: World Bank (http://www.worldbank.org/data/ country data/country data.html).

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol. XXVIII No. 3 Tahun 2002, Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.

Jumat, 25 Januari 2008

Titik Balik Desentralisasi

Evaluasi Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pasca UU No. 32 Tahun 2004

Oleh: Krishno Hadi
(Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan UMM)

Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami lompatan tajam dari sentralisasi menjadi desentralisasi, seiring diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun sayangnya, kelahiran UU ini tidaklah didasarkan pada kehendak politik (political will) yang tulus dari pemerintah, melainkan hanya sebagai respon untuk meredam munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah Indonesia yang hendak memisahkan diri dari NKRI.
Gelagat pemerintah untuk menarik kembali desentralisasi (resentralisasi) ini terlihat dari tidak seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan desentralisasi, misalnya menyangkut koordinasi antar pemerintahan daerah, yang mengakibatkan disharmonisasi hubungan antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota berjalan sendiri-sendiri dan tidak lagi “patuh” pada propinsi, karena ia merasa bukan lagi menjadi bawahan dari Gubernur. Kondisi ini dibiarkan saja oleh pemerintah pusat, bahkan justru dijadikan sebagai alasan untuk menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 telah mengalami kegagalan. Sehingga kehendak untuk mervisi UU tersebut cukup mendapatkan alasan pembenarnya.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah direvisi, bahkan bisa dikatakan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Jika dilihat dari semangatnya, UU No. 32 Tahun 2004 seolah-olah diarahkan untuk memperkuat otonomi daerah, yakni dengan merevisi penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dari semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.
Namun jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan beberapa semangat untuk menarik kembali desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama, dalam UU ini tidak lagi dikenal istilah kewenangan pemerintahan daerah, melainkan diubah menjadi urusan pemerintahan daerah, karena kewenangan memiliki konotasi dengan politis yakni kedaulatan. Sedangkan kata urusan konotasinya hanya pada aspek administratif saja. Kedua, semakin menguatnya pola pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Meski hal ini dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan, namun hal ini akan semakin mempersempit keleluasaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik desentralisasi. Sebut saja misalnya (1). PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan (2). PP No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Fenomena pasang surut penyelenggaraan desentralisasi inilah perlu adanya pemetaan kembali perjalanan desentralisasi pasca UU No. 32 Tahun 2004.